Ada begitu banyak satwa endemik yang terdapat di Pulau Sulawesi. Nah... sekarang kawan-kawan saya ajak untuk berkenalan dengan beberapa satwa endemik yang berada di Pulau Sulawesi khususnya Sulawesi Tengah :
- Anoa
Anoa adalah satwa endemik yang paling tekenal di kepulauan Sulawesi. Ada dua spesies anoa yaitu Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi) dan Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis). Keduanya tinggal dalam hutan yang tidak dijamah manusia. Penampilan mereka mirip dengan sapi sehingga sering juga disebut dengan sapi hutan. Anoa dewasa memiliki berat 150-300 kg. Anak anoa akan dilahirkan sekali dalam setahun. Namun sekarang hewan ini terancam punah. Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih bertahan hidup dihutan sepanjang pulau sulawesi. Anoa sering diburu untuk diambil kulitnya, tanduknya dan dagingnya.
- Maleo
Maleo Senkawor atau Maleo, yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo adalah sejenis burung gosong berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55cm, dan merupakan satu-satunya burung di dalam genus tunggal Macrocephalon. Yang unik dari maleo adalah, saat baru menetas anak burung maleo sudah bisa terbang. Ukuran telur burung maleo beratnya 240 gram hingga 270 gram per butirnya, ukuran rata-rata 11 cm, dan perbandingannya sekitar 5 hingga 8 kali lipat dari ukuran telur ayam. Tidak semua tempat di Sulawesi bisa ditemukan maleo. Sejauh ini, ladang peneluran hanya ditemukan di daerah yang memliki sejarah geologi yang berhubungan dengan lempeng pasifik atau Australasia. Populasi hewan endemik Indonesia ini hanya ditemukan di hutan tropis dataran rendah pulau Sulawesi khususnya daerah Sulawesi Tengah, yakni di daearah Kabupaten Donggala (Desa Pakuli dan sekitarnya) dan Kabupaten Luwuk Banggai. Populasi maleo di Sulawesi mengalami penurunan sebesar 90% semenjak tahun 1950-an. Berdasarkan pantauan di Tanjung Matop,Tolitoli,Sulawesi Tengah, jumlah populasi dari maleo terus berkurang dari tahun ke tahun karena dikonsumsi dan juga telur-telur yang terus diburu oleh warga.
- Elang Sulawesi
Tercatat ada 32 spesies Elang yang terdistribusi di Pulau Sulawesi dimana 6 spesies diantaranya masuk dalam katagori endemik. Elang Sulawesi (Sulawesi Hawk Eagle) merupakan salah satu elang endemik sulawesi yang terdistribusi di hutan hujan Sulawesi dan pulau-pulau satelitnya antara lain Muna,Buton, Kepulauan Sula dan kepulauan banggai. Makanan utamanya adalah Burung, kadal, ular dan mamalia kecil seperti tikus.Berukuran sedang sekitar 64 cm dari kepala sampai ekor, elang dewasa berwarna coklat karat, terdapat garis yang jelas di kepala dan dada, sayap berwarna coklat gelap dan putih bergaris hitam di bagian bawah sayap, elang muda mempunyai kepala berwarna putih, termasuk dalam famili accipitidae.
Diperkirakan populasinya 5000-10.000 individu (Ferguson-Lees et al. 2001) dan masuk kategori Terancam punah menurut IUCN dan dalam CITES dikategorikan dalam appendix II. Data populasi terkini masih belum diupdate lagi dan kemungkinan besar sudah sangat turun populasinya karena banyaknya degradasi habitat yang terjadi di Sulawesi. Elang dapat menunjukkan sehatnya suatu habitat dan ekosistem hutan serta mengindikasikan adanya nilai penting keanekaragaman hayati di dalamnya dan meduduki nilai penting dalam rantai makanan yaitu sebagai predator teratas. Sulawesi merupakan daerah yang menjadi habitat elang-elang endemik (khas). Di pulau Sulawesi hidup sekurangnya 60 persen dari 381 spesies burung-burung endemik yang ada di Indonesia. Di antaranya terdapat enam jenis elang endemik, yakni elang alap sulawesi (Accipiter griseiceps), elang ular mahenggo (Spilornis rufipectus), elang alap ekor putih (Accipiter trinotatus), elang alap kecil (Accipiter nanus), elang alap kecil sulawesi (Accipiter rhodogester), dan elang sulawesi (Spizaetus lanceolatus). Namun demikian perhatian terhadap biodiversitas Sulawesi terutama burung saat ini masih sangat kurang.
- Tarsius
Tarsius tarsier (Binatang Hantu/Kera Hantu/Monyet Hantu) adalah suatu jenis primata kecil. Panjang kepala dan tubuhnya 10 sampai 15 cm, namun kaki belakangnya hampir dua kali panjang ini, mereka juga punya ekor yang ramping sepanjang 20 hingga 25 cm. Memiliki tubuh berwarna coklat kemerahan dengan warna kulit kelabu, bermata besar dengan telinga menghadap ke depan dan memiliki bentuk yang lebar.
Nama Tarsius diambil karena ciri fisik tubuh mereka yang istimewa, yaitu tulang tarsal yang memanjang, yang membentuk pergelangan kaki mereka sehingga mereka dapat melompat sejauh 3 meter (hampir 10 kaki) dari satu pohon ke pohon lainnya. Tarsius juga memiliki ekor panjang yang tidak berbulu, kecuali pada bagian ujungnya. Setiap tangan dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang panjang. Jari-jari ini memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar yang digunakan untuk grooming.
Yang paling istimewa dari Tarsius adalah matanya yang besar. Ukuran matanya lebih besar jika dibandingkan besar otaknya sendiri. Mata ini dapat digunakan untuk melihat dengan tajam dalam kegelapan tetapi sebaliknya, hewan ini hampir tidak bisa melihat pada siang hari. Kepala Tarsius dapat memutar hampir 180 derajat baik ke arah kanan maupun ke arah kiri, seperti burung hantu. Telinga mereka juga dapat digerakkan untuk mendeteksi keberadaan mangsa. Tarsius adalah makhluk nokturnal yang melakukan aktivitas pada malam hari dan tidur pada siang hari. Oleh sebab itu Tarsius berburu pada malam hari. Mangsa mereka yang paling utama adalah serangga seperti kecoa, jangkrik, dan kadang-kadang reptil kecil, burung, dan kelelawar. Habitatnya adalah di hutan-hutan Sulawesi Utara hingga Sulawesi Selatan, juga di pulau-pulau sekitar Sulawesi. Tarsius juga dapat ditemukan di Filipina. Tarsius menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas pohon. Hewan ini menandai pohon daerah teritori mereka dengan urine. Tarsius berpindah tempat dengan cara melompat dari pohon ke pohon. Hewan ini bahkan tidur dan melahirkan dengan terus bergantung pada batang pohon. Tarsius tidak dapat berjalan di atas tanah, mereka melompat ketika berada di tanah.
- MonyetBoti (Macaca tonkeana)
Fauna endemic dan terkenal lainnya dari Sulawesi Tengah adalah Monyet hitam Sulawesi (macaca tonkeana). Habitat Macaca tonkeana hampir sama dengan Monyet Hitam Sulawesi lain yaitu hidup pada hutan dataran rendah dan hutan sekunder. Spesies monyet ini berada antara dari utara Palu sampai dengan Tana-Toradja sebelah selatan Taman Nasional dan mencakup seluruh semenanjung sebelah timur.
Uniknya banyak jenis monyet marga Macaca di Sulawesi dibanding dengan keseluruhan monyet di Asia. Padahal Luas pulau Sulawesi hanya 2% dari luas penyebaran jenis-jenis marga Macaca, namun jenis yang terdapat melebihi 25% dari keanekaragaman dari marga (Albrecht, 1978).
Taksonomi monyet Sulawesi sampai saat ini masih sangat membingungkan. Fooden (1969) mendeskripsi ada 7 jenis monyet Sulawesi (M. maura di Sulawesi Selatan, M. tonkeana di Sulawesi Tengah, M. hecki di Sulawesi tengah-utara, M. nigrescens di dekat Gorontalo-Kotamubagu, M. nigra di Sulawesi Utara, M. ochreata di Sulawesi tenggara dan M. brunnescens di pulau Muna dan Buton) yang merupakan hasil revisi dari yang telah diusulkan oleh Napier dan Napier {1967).
Khusus Macaca Tonkeana beberapa tahun yang lalu masih kerap ditemui di pinggiran hutan di sepanjang jalan trans Sulawesi diantaranya di ruas jalan kebun kopi, di Donggala bahkan sering terlihat di bukit Bale di Banawa serta di Bukit Lapaloang hingga ke pinggiran kampung di pesisir Banawa dan pingiran Kota Donggala, saat inipun masih sering terlihat meski tidak sebanyak dahulu.
- Babi Rusa/Babi Hutan
Babirusa (Babyrousa babirussa) hanya terdapat di sekitar Sulawesi, Pulau Togian, Malenge, Sula, Buru dan Maluku. Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Hewan ini gemar melahap buah-buahan dan tumbuhan, seperti mangga, jamur dan dedaunan. Mereka hanya berburu makanan pada malam hari untuk menghindari beberapa binatang buas yang sering menyerang.
Panjang tubuh babirusa sekitar 87 sampai 106 sentimeter. Tinggi babirusa berkisar pada 65-80 sentimeter dan berat tubuhnya bisa mencapai 90 kilogram. Meskipun bersifat penyendiri, pada umumnya mereka hidup berkelompok dengan seekor pejantan yang paling kuat sebagai pemimpinnya.
Binatang yang pemalu ini bisa menjadi buas jika diganggu. Taringnya panjang mencuat ke atas, berguna melindungi matanya dari duri rotan. Babirusa betina melahirkan satu sampai dua ekor satu kali melahirkan. Masa kehamilannya berkisar antara 125 hingga 150 hari. Bayi babirusa itu akan disusui selama satu bulan, setelah itu akan mencari makanan sendiri di hutan bebas. Selama setahun babirusa betina hanya melahirkan satu kali. Usia dewasa seekor babirusa lima hingga 10 bulan, dan dapat bertahan hingga usia 24 tahun.
Mereka sering diburu penduduk setempat untuk dimangsa atau sengaja dibunuh karena merusak lahan pertanian dan perkebunan. Populasi hewan yang juga memangsa larva ini kian sedikit hingga termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi. Jumlah mereka diperkirakan tinggal 4000 ekor dan hanya terdapat di Indonesia.
Sejak tahun 1996 hewan ini telah masuk dalam kategori langka dan dilindungi oleh IUCN dan CITES. Namun masih sering dijumpai perdagangan daging babirusa di daerah Sulawesi Utara. Karena itu, pusat penelitian dan pengembangan biologi LIPI bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat beserta Departemen Kehutanan dan Universitas Sam Ratulangi mengadakan program perlindungan terhadap hewan langka ini. Perlindungan tersebut meliputi pengawasan habitat babirusa dan membuat taman perlindungan babirusa di atas tanah seluas 800 hektar
- Burung Allo/Rangkong Sulawesi
Salah satu Flora khas sulawesi yang sangat terkenal adalah burung allo atau dalam nama Indonesia disebut Rangkong sulawesi, hewan ini merupakan salah satu burung endemik Sulawesi. Allo merupakan salah satu dari enam spesies kunci yang penting bagi indikator kelestarian Taman Nasional Lore Lindu. Dari 54 jenis yang ada di dunia terdapat 14 jenis burung rangkong tersebar di Di Indonesia , dan terdapat 3 jenis endemik Indonesia. Tiga jenis yang endemik Indonesia itu ialah Penelopides exarhatus (Kangkareng Sulawesi) dan Aceros Cassidix (Julang Sulawesi) keduanya hanya ada di Sulawesi, serta Aceros averitti (Julang Sumba) hanya ada di Sumba. Semua jenis Rangkong di Indonesia dilindungi oleh undang-undang dan terancam kepunahan akibat berbagai faktor.
Di Sulawesi Tengah Taman Nasional Lore Lindu merupakan rumah yang sangat aman bagi spesies ini, Saat ini diperkirakan masih terdapat ribuan ekor burung rangkong yang menghuni Taman nasional Lore Lindu.
Di Sulawesi Tengah Taman Nasional Lore Lindu merupakan rumah yang sangat aman bagi spesies ini, Saat ini diperkirakan masih terdapat ribuan ekor burung rangkong yang menghuni Taman nasional Lore Lindu.
sumber : Dirangkum dari berbagai sumber
gambar : Google
Luar biasa, thanks buat informasinya. sangat bermanfaat dan memberi wawasan, ilmu pengetahuan dan satu lagi foto fotonya mantap.
BalasHapusfotonya mmg mantap mantap ya kk atau cici
Hapusawsome...makasih bangat informasinya..
BalasHapussangat bermanfaat bagi yang membacanya :)
terima kasih banget informasih nya......... sangat membantu mengerjakan pr sekolah saya ...... dan jika bisa tolong beri tahu tentang flora endemik sulawesi juga supaya orang lebih tau tentang hewan endemik
BalasHapusmantap fal luar biasa komiu mangge
BalasHapusakbar